Sejarah Singkat Kalaka
Tumbuh di Malang, Jawa Timur, kami sering mengunjungi rumah nenek kami dari pihak ayah kami. Tempat mereka adalah rumah era kolonial dengan detail megahnya yang tidak pernah gagal memikat kami. Itu tidak besar untuk saat itu. Menurut salah satu bibi kami, rumah itu adalah salah satu rumah yang disewa oleh ‘meneer’ Belanda yang memiliki dealer Chevrolet di Malang. Kakek kami mendapat rumah ketika mantan Presiden Soekarno memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan milik Belanda. Karena keputusan tersebut, meneer tersebut harus kembali ke negaranya.
Kami, dan masih, kagum dengan kekuatan yang dipancarkan rumah dan keahliannya yang kuat. Sudah lebih dari satu abad dan satu-satunya renovasi yang dilakukan nenek kami adalah mengganti atapnya dan beberapa pekerjaan cat di sana-sini. Kayu jati yang ditemukan di pintu dan jendelanya masih dalam kondisi sempurna. Ubin semen buatan tangan encaustic ditemukan di lantai hanya memudar sedikit.
Impian dan imajinasi kami untuk memiliki bangunan era kolonial dimulai dari rumah itu. Sayangnya, rumah-rumah semacam ini hanya dapat ditemukan di daerah premium dengan harga yang sangat tinggi. Jelas mustahil bagi kami untuk membeli rumah seperti itu.
Sebuah solusi muncul saat mendiskusikan rencana pembangunan kami dengan arsitek kami, Bpk. Eko Prawoto. Dia menyarankan agar kita menggunakan bahan bekas yang didapat dari bangunan kolonial tua. Jadi, pencarian kami dimulai.
Awalnya kami mengumpulkan pintu dan jendela antik. Pak Eko menghubungkan kami dengan Mbak Iin, pedagang barang antik dari kayu. Dia memperoleh barang-barang dari Madura dan bagian timur Jawa Timur lainnya. Di antara koleksinya adalah pintu garasi era kolonial bekas, dan pintu kayu jati antik dari Probolinggo, bingkai jendela dari Madura dan kusen pintu melengkung dari kayu jati yang dibangun pada 1930-an dari Sumenep.
Saat dalam proses perburuan kami, kami bertemu dengan Pak Maman dan putranya Ricky. Mereka menjalankan toko bahan kayu bekas. Melalui mereka, kami dapat memperoleh barang-barang kayu dari Kalimantan dan Papua yang antik dari kampus dan hotel di sekitar Yogyakarta. Kami menggunakan kayu ini untuk konstruksi atap dan tangga Kalaka.
Awalnya, ide kami adalah menggunakan ubin semen yang baru diproduksi. Tetapi ketika kami menghubungi Pabrik Tegel Kunci, produsen ubin semen, kami disuruh menunggu satu tahun karena pesanan permintaan yang tinggi. Syukurlah, kami bertemu dengan Pak Sonny. Pada waktu itu ia memiliki ubin semen encaustic buatan tangan seharga 200 meter persegi yang ia peroleh dari bangunan-bangunan tua di Semarang, Pekalongan, dan Magelang. Tidak ingin membuang waktu, kami segera mulai menyortir ubinnya. Kami berhasil mendapatkan ubin yang dibutuhkan dari Tn. Dan Ny. Jono, yang kebetulan baru saja mendapatkan ubin semen antik dari hotel-hotel tua di sekitar Malioboro.